Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Melatih Anak Mengarahkan Emosi Semenjak Dini



kontrol emosi anak

Kini ini usia Ghazy telah genap 8 bulan. Segala kemampuannya semakin banyak berkembang. Ya motorik kasar, halus, oromotor, bahasa, serta sosio-emosionalnya. Makin ke sini, mengasuh Ghazy betul-betul butuh tenaga ekstra. 

Ghazy kini makin suka pencarian banyak contoh. Suka bergerak ke sana ke yuk. Beliau pula belajar memahami dengan cara apa respon aku terhadap apa yang beliau lakukan. Tentu saja, nggak semuanya menyenangkan. Terdapat pula yang bikin menghela napas relatif panjang. Apalagi andaikan bukan saat beliau mulai meluapkan emosinya.

Please, jangan dibayangkan Ghazy teriak-teriak sembari bilang sesuatu. Please, jangan. Akibat nggak begitu. Anak aku ini bukan anak ajaib kok. Masih bayi biasa.

Bayi yang andaikan kepingin sesuatu bakal mengutarakan dengan bahasanya yang sulit dipahami oleh kita. Kemudian, andaikan telah putus harapan, beliau bakal menangis. Sebiasa itu Ghazy. Sama misalnya bayi pada umumnya, bukan?

Dari sini, aku merasa semakin perlu buat mengajarkan Ghazy buat dapat mengelola emosinya dengan baik. Berdasarkan aku, semakin awal bakal semakin baik. Biarlah hari ini aku repot-repot dulu. Berasal, nanti beliau memahami dengan cara apa trik menyalurkan emosinya dengan benar.

kontrol emosi anak

Judulnya memang mengajarkan anak. Realitanya, bukan Cuma anak yang belajar. Kita, seperti orangtua, pun ikut belajar buat mengarahkan emosi.

Terdapat seseorang sahabat yang bilang andaikan bayi itu misalnya spons. Beliau dapat menyerap emosi yang dapat kita rasakan. Andaikan kita dalam kondisi emosi yang tidak stabil, bayi pun bakal cenderung lebih gampang rewel.

Sejujurnya, aku belum pernah membuktikan contoh ini. Apalagi, aku tidak berharap buat membuktikan contoh ini. Sedari Ghazy lahir pesan buat mengarahkan emosi serta panik itu selalu aku pegang serta coba terapkan. Tidak gampang memang. Akan tetapi wajib dicoba.

Sejauh ini, serewel-rewelnya Ghazy, tidak pernah yang hingga berlarut lama sekali. Dalam waktu singkat saja, beliau telah dapat dikendalikan. Entah itu dengan disusui atau digendong sampai tertidur. 

Makin ke sini, ujian mengarahkan emosi ini mulai naik level. Ghazy mulai rewel andaikan keinginannya tidak dituruti. Beliau pula rewel andaikan diminta pause main akibat wajib pakai baju. Beliau pun suka sekali menggoda aku dengan melakukan apa yang aku larang.

Banyak contoh dari aktivitasnya yang memicu aku buat menaikkan satu oktaf nada bicara aku. Sungguh, aku tidak ingin lebih tinggi lagi. Apalagi hingga lenyap kendali serta mulai ringan memukul anak aku. No, no, no! Jangan hingga.

That's why, aku pun belajar sambil mengajarkan beliau mengarahkan emosinya. Belajar buat memahami apa yang beliau mau. Kemudian, aku mulai mengarahkan beliau buat menyalurkan ke jalan yang benar.

Well, goresan pena Moeder Ina mengenai dengan cara apa trik mengelola emosi ketika bareng si mini betul-betul amat sangat membantu. Andaikan engkau punya keresahan yang sama dengan aku, coba deh tengok goresan pena Moeder Ina ini.
kontrol emosi anak

Terdapat satu contoh yang perlu kita serta anak pahami ketika belajar mengarahkan emosi, yaitu seluruh emosi itu bisa buat dirasakan. Apapun itu, termasuk emosi yang tidak menyenangkan. Contohnya, menangis atau murka.

Emosi itu bukan sesuatu yang benar atau salah buat dirasakan. It's okay andaikan mau nangis. It's okay andaikan mau murka. Ini fitrahnya insan. 

Masalahnya itu bukan pada dengan cara apa apa yang dirasakan. Akan tetapi dengan cara apa trik menyalurkan yang benar. Itu PR-nya.

Anak-anak perlu diajarkan buat memvalidasi perasaannya sebelum belajar mengelolanya. Andaikan proses validasi perasaan saja telah tidak boleh, dengan cara apa akhirnya emosi itu dapat disalurkan dengan benar.

Terdapat empat contoh yang biasa aku lakukan buat mengajarkan Ghazy mengarahkan emosi. Apapun emosinya. Proses ini tentunya bertahap. Nggak dapat andaikan kini coba, terus esok telah berhasil. Belum tentu. Akan tetapi setidaknya, inilah yang biasa aku lakukan.

1. Perkenalkan emosi apakah itu

Ketika awal penciptaan insan, Nabi Adam dapat memahami segala jenis benda akibat Sang Pencipta yang kasih memahami. Artinya, insan bakal memahami suatu contoh sesudah terinstall berita baru ke memori mereka.

Inilah yang akhirnya aku coba lakukan ke Ghazy. Memperkenalkan emosi kepadanya. Trik yang biasa aku lakukan merupakan dengan mengajukan pertanyaan.

"Ghazy, mengapa nangis?"

"Lho, Ghazy murka?"

"Seneng, Nak?"

Memang, bentuknya merupakan pertanyaan, bukan pernyataan. Akan tetapi, dalam satu frasa kalimat, aku coba kenalkan emosi yang sedang beliau rasakan.


2. Cari memahami dari mana sumbernya

Sesudah mengenalkan emosi apa itu, umumnya aku bakal cari memahami lagi dari mana sumbernya. Apa yang membentuk beliau suka, menangis atau murka?

"Ghazy ngantuk?"

"Seneng ya main sama Ummi?"

"Nyariin Ummi, ya?"

Buat anak seumuran Ghazy, sulit bagi beliau buat mengutarakan apa yang beliau rasa. Pada sinilah kiprah aku seperti orangtua yang wajib sanggup memahami apa maksudnya. Aku umumnya coba mencari memahami lewat gestur tubuh Ghazy.

3. Beri ruang buat menyalurkan emosi

Sama misalnya kita, anak-anak pun butuh ruang buat menyalurkan emosinya. Apakah itu dengan pelukan, tangisan, atau trik yang lain.  Umumnya, sesudah memahami apa yang terjadi, aku bakal beri beliau ruang buat menyalurkan emosinya.

Andaikan menangis akibat murka, sendirian, atau kesakitan, ya aku gendong sembari tepuk-tepuk punggungnya. Andaikan beliau ngantuk ya aku keloni aja. 

Kemudian, dengan cara apa andaikan anak telah lebih besar serta dapat bercerita? Kita dapat memberi ruang buat mendengarkan apa yang beliau rasakan sebelum memberikan apa yang mereka butuhkan. Contohnya, pelukan.

Buat anak yang lebih besar juga, tahap ini dapat dibalik dengan tahapan sebelumnya. So, beri beliau ruang dulu buat menyalurkan emosinya. Misal, beliau pingin menenangkan diri atau menangis. Abaikan saja dulu. Jangan tanya sebabnya andaikan anak belum siap buat cerita.

4. Jika tidak benar, tunjukkan trik yang benar

Trik anak bersikap itu erat kaitannya dengan dengan cara apa kita memberikan terugkoppeling dari segala contoh yang beliau lakukan. Mereka belajar mengenai dengan cara apa reaksi orangtuanya andaikan mereka melakukan suatu contoh.

"Andaikan saya nangis, Ummi gimana ya?"

"Andaikan saya angkat tangan, Abi ngapain saya ya?"

"Andaikan saya sembur-sembur gini, reaksi Ummi gimana ya?"

Nah, pada sinilah kuncinya. Andaikan kita tidak benar memberikan terugkoppeling atau apalagi membiarkan anak melakukan contoh ini, beliau bakal terus menerus melakukan kesalahan. Kita yang so semakin repot nanti. So, andaikan caranya mengekspresikan emosi tidak benar, ya betulkan.

Ghazy ini sebetulnya anak yang manis. Seringkali diam-diam beliau mendekat ke arah aku serta mengecup aku, tanpa aku minta. Adakalanya pula, sesudah mengecup aku memukul pipi aku relatif keras.

Aku memahami bahwa sebetulnya Ghazy tidak bermaksud menyakiti aku. Dapat so beliau ingin ngelus Umminya. Sayang, beliau belum dapat mengarahkan tangannya. Umumnya, aku bakal arahkan tangannya buat mengelus pipi aku secara perlahan.

Andaikan sedang murka akibat nggak dituruti atau dapat melakukan sesuatu, aku bakal arahkan beliau buat bersabar. Schenkkan nggak seluruh contoh wajib dituruti. Apalagi andaikan contoh yang beliau minta berbahaya.

kontrol emosi anak
Semakin seringenboom baca wetsartikel mengenai inner child, semakin aku sadar bahwa anak amat perlu buat diajarkan dengan cara apa mengelola emosinya sedari dini. Keberhasilan proses belajar ini bukan Cuma dilihat dari usaha anak buat berproses dari hari ke hari, akan tetapi pula dilihat dari kita seperti orangtua.

Anak bakal sanggup mengarahkan emosinya  saat kita dapat mengajarkan kepada mereka dengan cara apa caranya. Anak pula bakal sanggup memberikan apa yang beliau rasa saat kita sanggup sebagai media buat mengeluarkan apa yang beliau rasakan. 

Dari sini juga, kita pula wajib paham bahwa terdapat sebagian contoh yang perlu disiapkan. Apa saja itu? 

1. Indera pendengaran buat Mendengar

Terdapat satu alasan mengapa aku berat hati sekali bercerita ke orang tua aku, dia berat hati buat sungguh mendengarkan aku. Bukannya membiarkan aku selesai bercerita, dia telah potong dulu dengan ceritanya. Apalagi, memberikan nasehat yang tidak jarang terasa menyudutkan aku.

Berkaca dari apa yang aku alamiah, aku so sadar alangkah besar kemampuan orangtua buat mau sungguh mendengarkan anaknya. By the way, kemampuan mendengar ini tidak dipengaruhi dari normal tidaknya telinganya ya. Bukan itu. Akan tetapi mengenai mendengarkan secara aktif.

Amanah, ini sulit sekali. Ego insan yang membentuk seseorang berhenti mendengarkan serta langsung loncat ke solusi akhir. Padahal, dapat so yang diinginkan orang yang bercerita ini bukan solusi. Akan tetapi ruang buat mengeluarkan segala contoh yang berkecamuk dalam dirinya.

Menariknya, kemampuan mendengar ini sulit dilakukan oleh orang-orang yang punya kekuasaan. Contoh, orangtua ke anaknya. Amanah saja, aku tidak ingin sebagai bagian dari orangtua yang sulit mendengarkan anaknya.

Mengapa? Saat aku gagal dalam proses ini, maka anak aku bakal lebih nyaman menceritakan masalahnya pada orang lain. Alhamdulillah, andaikan terdapat bimbingan dari mereka. Dengan cara apa andaikan makin menyesatkan? Naudzubillah minteken dzalik.

2. Sentuhan yang Menenangkan

Saat sedang kalut, kemudian terdapat orang yang menepuk pundak kita atau apalagi memberikan pelukan. Andaikan aku, telah pasti ambyar sih. Sekalipun tidak terdapat kata-kata yang keluar, air mata dapat terurai kencang. Sekuat itulah kekuatan sentuhan. Beliau dapat memberi ketenangan pada hati yang tengah berkecamuk.

Aku yakin, banyak orang yang misalnya aku. Ini sebabnya, saat anak kita mulai kesulitan buat mengarahkan emosinya, coba tawarkan sentuhan ke beliau. Apakah beliau ingin dipeluk supaya lebih tenang ataukah berpegangan tangan dengan kita? Selanjutnya lakukan apa yang beliau minta.

3. Jarak buat Memberi Ruang

Tidak selalu orang yang sedang emosi butuh indera pendengaran atau sentuhan. Dapat so, beliau Cuma butuh ruang buat menyendiri. Menenangkan segala pikiran sendiri. Sampai akhirnya, beliau siap buat bercerita atau mendapatkan solusi dari permasalahannya.

Dengan cara apa buibu pakbapak? Nampaknya memang banyak sekali PR yang wajib dikerjakan ya. So, dari pada pening, yuk kita kerjakan saja.

Andaikan kalian, umumnya gimana nih? Tulis pada kolom komentar ya.



Posting Komentar untuk "Melatih Anak Mengarahkan Emosi Semenjak Dini"