Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mereka Kenyataannya Anak Siapa?


Hari kemarin aku melihat satu dari postingan pada beranda Facebook yang menyatakan kejengkelannya terhadap pengajar yang Cuma menyuruh murid membaca kitab serta mengerjakan tugas. Aku sendiri mengamini masih banyak memang pengajar yang misalnya itu, akan tetapi entah mengapa aku sendiri merasa miris.

Sebagian hari yang kemudian aku pula melihat protes seseorang orang tua terhadap pengajar Taman Kanak-kanak yang menggambar tugas buat anaknya. Dia menyayangkan mengapa si pengajar memakai gambar tangan padahal teknologi digital telah sangat maju. Apa gunanya memiliki PC serta printer, begitu dia mempermasalahkan. Tidak tahukah si Orang tua bahwa menggambar dengan tangan membutuhkan "usaha" yang lebih dibanding sekadar mencetaknya dengan printer? Tidak sadarkah si Orang tua bahwa terdapat hati yang tulus dalam setiap goresan yang tergaris? Hati aku teriris. 

Pada lingkungan aku, masih banyak orang tua, khususnya orang tua, yang merasa keberatan membimbing anak-anak mereka. Konon mereka tidak lagi dapat bekerja dengan tenang. Mereka mengungkapkan mengambil tugas membimbing anak mereka menguras tenaga serta pikiran. Oh, maaf! Bukan mengambil tugas membimbing, akan tetapi mengambil tugas anak buat mereka kerjakan.

Para murid ini, anak-anak ini, kenyataannya anak siapa? apabila memang  anak-anak mereka, sebaiknya para orang tua tidak perlu bersikap berlebihan menolak mereka belajar pada tempat tinggal. Aku yakin sekolah sepakat bahwa belajar bukan sekadar menuntaskan tugas. Terdapat banyak contoh dapat diajarkan pada tempat tinggal. Para pengajar pada sekolah tidak menginginkan murid Cuma mengerjakan tugas, namun anak diajak buat mengerjakan banyak sekali pekerjaan tempat tinggal. Terdapat banyak nilai dapat ditanamkan. Penanaman nilai inilah yang sebagai poin dari pendidikan.

Pandemi ini berat. Tantangan belajar dari tempat tinggal sungguh teramat berat, terlebih buat sekolah-sekolah pinggiran yang memang minat belajarnya rendah.

***

Selasa hari kemarin skedul aku mengajar. Dari 2 kelas yang sebaiknya terdiri atas 60 murid, kelas aku Cuma dihadiri 29 murid. Itu pun separuh apabila dipanggil tidak nyaut. Ah, sudahlah! Mau dengan cara apa lagi? Setidaknya terdapat 29 murid yang masih sudi buat ikut bergabung.

Bermacam-macam upaya telah dilakukan. Pendekatan pada murid serta orang tua, pemanggilan orang tua, kunjungan tempat tinggal. Seluruh nul. Tidak terdapat perubahan. apabila pada awal belajar dari tempat tinggal mereka mengeluhkan kuota, toh kini saat kuota internet apalagi tidak habis terpakai, jumlah murid yang ikut daring pula tidak terdapat peningkatan.

Pemanggilan orang tua ke sekolah pula sia-sia.

Lha aku tahunya anak belajar, Bu. Soalnya dari pagi sampai malam pada kamar pegang HP. Wong anak aku pula aku larang ngerjain pekerjaan tempat tinggal.”

“Anak aku bangunnya siang, Bu. Susah dibangunin. Makanya andaikan jam pertama seringenboom tidak ikut.”

“Aku sendiri jarang pada tempat tinggal, Bu. So, aku tidak dapat mengawasi anak-anak.”

Jawaban orang tua pada tempat aku mengajar lebih kurang begitu. Mereka memang tidak dapat disalahkan. Boro-boro memikirkan pendidikan anak-anak, mereka saja pusing memikirkan dengan cara apa caranya mereka nutup setoran tiap bulannya.

Pernah aku mendatangi anak murid aku. Kebetulan aku walinya. Saat bertemu ibunya, apalagi si Orang tua tidak memahami ke mana anaknya pergi. Saat aku akan pamit kembali, si Anak tiba. Bukannya menemui aku, si Anak malah kabur.

Terdapat pula anak yang berhasil ditemui. Tetapi, sungguh penampilannya berbeda jauh saat beliau masih beranjak sekolah. Rambutnya berwarna-warni, kukunya panjang dengan cat hitam. Ah, murung aku.

Yang terbaru para murid secara bergilir mengambil ijazah ke sekolah. Sebagian pengajar mengeluhkan sikap para murid. Anak berlalu begitu saja. Tanpa permisi, tanpa terima kasih. Bagi orang yang bergelut pada dunia pendidikan tentu saja ini sangat melukai hati.

Kok dapat ya saat anak dikembalikan ke orang tua malah mengalami degedrasi moral? Tidakkah mereka diajarkan rapikan krama serta sopan satun pada tempat tinggal? Bukankah anak merupakan milik orang tua. apabila mau “menang-menangan” tentu saja para pengajar harusnya tidak perlu ambil pusing. Bukankah anak-anak ini merupakan anak orang tua mereka? Ya telah. Biarlah!

Tetapi, nyatanya kemunduran ini sebagai tamparan besar bagi para pengajar. So selama ini ketertiban mereka pada sekolah Cuma sebatas akibat adanya rapikan tertib. Bukankah sebaiknya pula terdapat rapikan tertib pada tempat tinggal? Ah, bukan ranah pengajar membahas tempat tinggal para orang tua.

Aku tidak bakal membela diri. Nyatanya pendidikan memang sebagai PR besar bagi semuanya. Masih banyak pengajar yang belum memiliki kompetensi misalnya yang diamanahkan Undang-Undang memang benar adanya. Tetapi, kondisi ini bukan lantas sebagai pembenaran para orang tua buat melontarkan kekecewaannya secara sarkas pada medsos. Dengan cara apa apabila satu dari yang membaca unggahan tadi merupakan pengajar anaknya yang telah berusaha mati-matian buat memberikan yang jempolan—walau memang mungkin belum menampakan output sebaik yang diinginkan para orang tua?

Andaikan dirasa para orang tua ini mempunyai kompetensi yang lebih unggul ketimbang pengajar anak-anaknya, bukankah lebih baik diam, tidak perlu menghujat. Relatif didik anak-anak pada tempat tinggal misalnya yang para orang tua inginkan. Ini saatnya melakukan kiprah jempolan seperti madrasah pokok bagi anak-anaknya. Kemudian, saat saatnya para murid ini kembali ke sekolah para pengajar bakal mengatakan dengan bangga memang pengajar jempolan merupakan orang tua. Sayangnya … ah, sudahlah! So pengajar pada masa pandemi enggak bisa cilik aten.

Sungguh pandemi ini selain memporak-porandakan perekonomian negara pula meluluhlantahkan letter bangsa. Semoga cepat pulih Indonesiaku!

Posting Komentar untuk "Mereka Kenyataannya Anak Siapa?"