Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Review Film] Kim Ji-Young: Born 1982



Kim Jin-Young:Born 1982

Kim Ji Young: Born 1982 merupakan speelfilm yang aku tonton awal tahun 2020 ini. Telah relatif lama memang, akan tetapi vibesnya masih terasa sampai saat ini. Speelfilm ini diangkat dari novel yang disusun oleh Cho Nam-Ju dengan judul serupa. Tulisannya berdasarkan pada budaya yang terdapat pada Korea mengenai dengan cara apa seseorang perempuan yang telah menikah diperlakukan.


Katanya pula, karya Cho Nam-Ju ini adalah bentuk kritik tidak langsung terhadap budaya patriaki yang terdapat pada sana. Meski tidak semuanya sama, akan tetapi apa yang dialami oleh Kim Ji-Young ini memang banyak dialami oleh kita seperti orang tua baru.


Goresan pena ini bakal banyak mengandung spoiler. So, untuk nggak suka dikasih spoiler, dapat skip aja bagian sinopsisnya.


Speelfilm ini dibuka dengan toneel yang relatif membentuk gemas serta bertanya-tanya mengenai siapa Kim Ji-Young, apa yang telah beliau lakukan hingga so bahan omongan orang. Ceritanya Kim Ji-Young sedang duduk santai pada taman sembari meminum kopi. Tampaknya sih, beliau sedang istirahat sementara waktu sesudah mengajak bayinya jalan-jalan.


Lagi enak-enaknya menikmati segelas kopi panas, terus terdapat orang yang nyeletuk pada belakangnya.


"Lezat sekali ya dapat minum kopi santai kayak gitu. Tinggal habisin uang suami aja."

Kim Jin-Young:Born 1982



Amanah, komentar ini yang bikin aku bertanya-tanya lebih lanjut sama Kim Ji-Young ini. Siapa sih beliau kok hingga dibilang gitu? Si cewek matre kah? Suaminya sekaya apa sih? Serta banyak pertanyaan-pertanyaan lain.


Toneel berikutnya nih yang menjelaskan Kim Ji-Young ini siapa. Beliau ini orang tua tempat tinggal tangga yang ceritanya baru melahirkan. Nggak baru-baru amat sih. Akan tetapi anaknya masih pada bawah satu tahun. Seperti orang tua yang pula punya anak umur segini, memahami buanget gimana repotnya urus tempat tinggal serta diri sendiri.


Beliau tinggal bareng suami serta anaknya. Tempat tinggalnya bukan tempat tinggal yang sederhana. Dapat dibilang standard lah ya.

Kim Jin-Young:Born 1982


Meski telah digambarkan siapa Kim Ji-Young ini, terdapat pertanyaan besar dalam benak aku. Sematre apa sih beliau hingga dikatain begitu? 


Hingga akhirnya, bertemu nih sama suaminya. Andaikan dilihat pada speelfilm ini, suaminya tuh buaik sekali. Suaminya bukan suami yang hanya kerja, terus hingga tempat tinggal istirahat. Nggak gitu.


Jung Dae-Hyun, suami Ji-Young ini tipe-tipe family man sekali. Andaikan pada tempat tinggal, beliau ikut asuh anaknya. Main sama anaknya. Apalagi, beliau pula ikut mengerjakan pekerjaan tempat tinggal, misalnya mencuci baju.


Dae-Hyun ini sebetulnya sadar andaikan istrinya ini sedang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, beliau gelisah gimana ngomongnya. Setiap beliau tanya ke Ji-Young, jawabannya ya sama.


"Saya baik-baik aja kok."


Biasalah. Perempuan memang gitu. Seringenboom merasa baik-baik saja. Padahal, beliau lagi tertekan berat atau capek yang istimewa.


Memahami istrinya seperti ini, Dae-Hyun pingin ngajakin istrinya untuk piknik bukannya dateng ke agenda awal tahun bareng famili. Akan tetapi Ji-Young menolak. Beliau nggak dapat skip agenda itu akibat beliau merasa wajib bantuin orang tua mertuanya siapin agenda famili.


Serta tibalah hari yang dinanti. Dari raut wajahnya sih, Ji-Young tuh udah capek sekali. Secara fisik beliau capek, secara mental beliau pula capek.


Satu toneel yang bikin aku kesel lagi merupakan saat orang tua mertuanya ngasih celemek masak untuk Ji-Young. Katanya, lihat celemek keinget menantunya. Maksud orang tua? Menantu orang tua asisten? 

Kim Jin-Young:Born 1982


Orisinal, aku kesel sekali sama mertuanya. Mana kayak semuamuanya dikasih ke Ji-Young. Terus waktu Dae-Hyun mau bantuin, sama ibunya nggak diizinin. Part yang lebih ngeselin sekaligus bikin gue melamun kebingungan merupakan toneel saat adek Dae-Hyun tiba.


Adek iparnya tiba, kemudian ibunya menyambut dengan manis. Muanis sekali hingga nggak bisa bantu apa-apa. Padahal, Ji-Young masih pada dapur ngurus ini itu. Ya kesel vermag jadinya.


Kemudian, sesuatu terjadi. Tiba-tiba Ji-Young ngomel. Sejujurnya, aku nggak ngeh maksudnya waktu Ji-Young ngomel ini. Aku duga, ini hanya akibat capek serta sebel yang telah tumbuh sebagai satu. Ternyata, tidak sesederhana itu.


Siapa orang yang sadar dengan ini? Tentu saja Dae-Hyun. Akan tetapi, beliau nggak ngerti ngasih memahami ke Ji-Young serta orang-orang gimana.


Pelan-pelan, Dae-Hyun minta Ji-Young untuk dateng ke psikolog. Masalahnya, Dae-Hyun nggak bilang ke Ji-Young separah apa beliau. Dae-Hyun hanya bilang andaikan MUNGKIN Ji-Young butuh psikolog. So, ya nggak salah dong andaikan Ji-Young ngebatalin konsultasi sama psikolog saat memahami harganya.


Ji-Young ini misalnya banyak orang tua yang terdapat pada luar sana. Beliau memutuskan buat berhenti bekerja sesudah punya anak. Meski begitu, rutinitas so orang tua yang cita rasanya gitu-gitu aja bikin beliau pingin balik kerja lagi. Meraih segala contoh yang beliau cita-citakan.


Bagian ini pula bikin beliau galau. Apalagi bosnya yang dulu nawarin kerja bareng beliau. Sempat lampu hijau ke suaminya, akan tetapi sama suaminya tidak boleh. Sebetulnya, Dae-Hyun ngelarang bukan akibat takut disaingin apa gimana sih. Beliau khawatir aja sama istrinya. Kini aja istrinya udah relatif tertekan. Andaikan kerja, apa kabar?


Akan tetapi lagi-lagi gara-gara masalah hubungan yang nggak bener, maksud Dae-Hyun so nggak hingga ke Ji-Young. Tertekan lagi. Timbul lagi kepribadian lain pada dirinya. Suaminya hingga nangis lihat kondisi ini. Super duper merasa bersalah ke Ji-Young. Beliau merasa Ji-Young seperti ini akibat nikah sama beliau.


Akhirnya, Dae-Hyun izinin Ji-Young kerja. Beliau milih untuk sama-sama asuh anak. Apalagi, Dae-Hyun rela ambil cuti pasca melahirkan. Oya, andaikan pada Korea ini pula berlaku ke suami. Meskipun, banyak yang akhirnya kesulitan buat kembali bekerja.


Dae-Hyun ini nggak bilang ke ibunya. Eh, Ji-Young dong, waktu ditelpon mertuanya dengan suka cita cerita contoh ini. Ya ngamuk mertuanya. Sebetulnya, mertuanya ini udah agak mulai merasa bersalah serta zekering push menantunya. Akan tetapi, gara-gara diceritain gini serta merasa karier anaknya terancam beliau murka sekali.


Ji-Young tertekan lagi. Timbul lagi kepribadiannya yang lain. Beliau so orang lain lagi. Kalium ini ibunya memahami serta musnah sekali lihat anaknya sedepresi itu. Ibunya sebel sama keadaan yang lebih memuliakan anak laki-laki dibanding perempuan.

Kim Jin-Young:Born 1982


At the end, Dae-Hyun coba bilang ke Ji-Young lagi buat pergi ke psikolog. Beliau tunjukin bukti andaikan Ji-Young literally butuh bantuan. Ini agak sulit untuk diterima memang. Akan tetapi, demi anaknya, Ji-Young mau melakukan itu.


Ji-Young mundur dari tawaran pekerjaan yang dikasih bosnya. Beliau mau fokus sama terapinya. Beliau belajar untuk ngungkapin apa yang beliau pendam secara verbal serta goresan pena. Serta, hal-hal baik pun terjadi. Ji-Young nemu trik buat dapat tetap menyalurkan keberadaan diri tanpa meninggalkan keluarganya.

Oya, pada akhir cerita ketahuan tuh siapa yang suka ngomongin Ji-Young pada dekat coffee shop. Literally, orang asing. Akan tetapi, tokoh ini betul-betul mewakili segala contoh yang terjadi.


Kim Jin-Young:Born 1982

Setiap speelfilm tentu dirancang dengan tujuan tertentu. Melalui segala macam cerita yang disajikan, terdapat pesan yang ingin disampaikan ke para penikmatnya. Begitu pula speelfilm ini. Terdapat sebagian pesan yang aku tangkap dari speelfilm ini.


1. Kritik terhadap budaya patriaki

Andaikan kalian nonton speelfilm ini, terang sekali andaikan speelfilm ini emang pingin mengkritik budaya patriaki pada Korea. Apalagi, nggak hanya pada Korea aja sih, pada seluruh penjuru dunia. Umumnya sih, solusi dari contoh ini ya ke arah feminisme. 


Perempuan dapat berkarya. Perempuan berhak meraih mimpinya. Perempuan punya kesempatan yang sama dengan laki-laki. Umumnya bakal begitu.


Sedikit banyak speelfilm ini memberikan contoh itu pula. Meskipun, pada akhir cerita nggak gini-gini amat. Contoh yang aku suka dari Ji-Young merupakan kekuatannya dalam mendapatkan segala keadaan serta mau bangkit. Pilihan buat membersamai keluarganya dulu yang akhirnya nuntun beliau menuju suksesnya sendiri.


2. Kind blues itu masalah nyata

Dulu, aku pikir kindje blues itu Cuma terjadi pada ibu-ibu baru, misalnya aku. Orang tua yang baru pertama kalium punya anak. Realitanya tidak. 


Terdapat banyak ibu-ibu yang telah pernah melahirkan yang pula terkena sindrom satu ini. Gara-gara itu pula aku so kepo lebih dalam. Kok dapat sih?


Dari output pencarian sana-sini, akhirnya aku paham bahwa kindje blues merupakan kondisi yang amat dekat dengan perempuan yang baru saja melahirkan. Kondisi ini dipicu akibat perubahan hormon yang amat drastis. Aku sih membayangkannya misalnya saat kita bakal tiba bulan. Itu vermag apa-apa so senggol bacok ya. Sensitif sekali. Andaikan lingkungan sekitar malah memicu berbagai macam rupa tekanan, ya memungkinkan sekali kindje blues ini tiba.


3. Pentingnya hubungan suami istri

Andaikan kalian nonton speelfilm ini dari awal, pasti gemes sekali sama suaminya. Beliau memahami serta amat sadar bahwa istrinya itu punya masalah. Akan tetapi, beliau diam saja. Gelisah sendiri. Padahal, beliau itu tinggal bilang lho. Ngobrol sama istrinya, engkau punya masalah. Terus tunjukin buktinya. Selesai.


Ini malah muter-muter dulu. Nanya sana-sini yang berujung pada sama-sama lelah. Istrinya nggak sembuh, akan tetapi sakit hati lagi. Dianya pula makin lelah dengan seluruh ini. 


Dari speelfilm ini, kita dapat belajar bahwa saat kita punya masalah dengan pasangan, ya telah, obrolin aja. Cari waktu yang tepat. Contohnya, obrolan sebelum tidur. Andaikan nggak dapat ya waktu makan. Waktu saat semuanya lagi selow serta nggak megang kerjaan masing-masing. Terus ngobrol.


Memang, hubungan antara suami istri itu tidak semudah teorinya. Banyak sekali pertikaian yang terjadi, Cuma dimulai dari obrolan. Nah, ini seninya. Seni memahami pasangan serta dengan cara apa memberikan maksud kita. Tentu, contoh semacam ini butuh banyak sekali belajar serta praktik. 


Banyak masalah besar semacam perselingkuhan, perceraian, kekerasan dalam tempat tinggal tangga, tempat tinggal tangga yang makin dingin, Cuma akibat ketidakmampuan satu sama lain dalam berkomunikasi. Buat itu, andaikan mau tempat tinggal tangganya abadi, mari belajar berkomunikasi sama pasangan. Aku dulu belajar ini dari websitenya John Grey, penulis tocht vs Venus. Dari situs itu, aku so banyak memahami mengenai jalan pikir laki-laki serta perempuan ini.


Kim Jin-Young:Born 1982

Dalam speelfilm ini, kita bakal amat seringenboom melihat dengan cara apa seseorang perempuan dipercaya sebelah mata. Saat beliau menentukan seperti orang tua tempat tinggal tangga, beliau dipercaya tidak produktif serta Cuma dapat menghabiskan uang suami. Saat beliau menentukan seperti perempuan karir, beliau pun dipercaya menelantarkan anaknya. Apapun pilihan yang diambil oleh perempuan, seolah semuanya salah. 


Nah, dari pada gelisah harusnya dengan cara apa. Yuk kita lihat dengan cara apa Islam memandang problem semacam ini.


Kondisi serba salah yang dialami oleh para perempuan pada speelfilm ini pula seringenboom dialami oleh para perempuan pada dunia. Mana yang lebih baik? So orang tua tempat tinggal tangga saja atau berkarir serta menggapai mimpi? Dalam Islam, contoh ini bukan sesuatu yang wajib dipermasalahkan. Mengapa? Hukumnya mubah. Bisa perempuan menentukan bekerja atau tidak. Satu contoh yang wajib diingat perempuan, bahwa tugas utamanya merupakan sebagai orang tua serta pengatur tempat tinggal tangga.


Kiprah orang tua merupakan kiprah yang selamanya tidak bakal dapat digantikan oleh orang lain. Ini kiprah yang wajib diambil orang tua apapun pilihan yang dirancang. Entah itu tetap bekerja pada luar tempat tinggal atau tidak. Pengasuhan serta pendidikan dari orang tua tidak. So, andaikan seseorang orang tua menentukan buat bekerja pada luar tempat tinggal. Beliau wajib memastikan tugasnya yang satu ini tetap mampu dijalankan dengan baik. Jangan hingga mengejar yang mubah akan tetapi malah melalaikan yang wajib.


Selain sebagai orang tua, perempuan merupakan pengatur tempat tinggal tangga. Artinya, seluruh urusan tempat tinggal tangga beliau yang mengaturnya. Tentu, mengatur tidak sama dengan menuntaskan semuanya sendiri. Bisa mendelegasikan pekerjaan tempat tinggal tangga pada orang lain. Pakai catering harian, punya asisten tempat tinggal tangga, atau sesederhana menyebarkan tugas dengan suami. Itu semuanya bisa. Berasal, semuanya tetap undercontrol. Kita yang mengendalikannya. Kita yang memastikan bahwa semuanya tuntas.


Sesudah menikah, perempuan memang diwajibkan buat taat pada suami. Tentu saja, selama kasus itu tidak melanggar syariat. Akan tetapi, tidak dan merta seseorang istri berubah sebagai bawahan suami. Beliau so diperlakukan seolah misalnya seseorang asisten. Andaikan kita mau melihat dengan kacamata yang utuh dengan cara apa Islam mengatur contoh ini, ternyata tidak begitu halnya. Kita dapat melihat contoh yang diberikan Rasulullah kepada para istrinya. Dengan cara apa dia begitu memuliakan istrinya, mau membantu meringankan tugas istri, serta sebagainya. Ini pada luar kewajibannya mencari nafkah ya. So, nggak terdapat ceritanya dari mulut suami keluar seperti ini.


"Saya tuh udah capek kerja. Ya engkau urus tempat tinggal yang bener dong."


Wow. Berdasarkan ngana, urus tempat tinggal itu semudah membalikkan telapak tangan? Ini belum lagi andaikan rumahnya besar, anaknya banyak, menuntaskan tugas domestik pula so PR besar. Kiprah suami dalam tempat tinggal tangga bukan seperti big boss yang atur sana sini. Tugas laki-laki merupakan seperti qowwam atau pelindung serta pemimpin bagi perempuan. Saat contoh ini dipahami, tidak mungkin seseorang laki-laki memperlakukan istrinya sewenang. Andaikan ini dipahammi oleh seluruh orang, apa yang dialami Ji-Young tidak bakal pernah terjadi.


Itu kondisi idealnya. Realitanya, tentu tidak begitu. Berislam ternyata tidak selalu membentuk laki-laki serta perempuan paham bakal hakk serta kewajibannya sesudah menikah. Akhirnya, penyelewengan terjadi pada sana-sini. Mengapa demikian? Ini akibat baik sendiri saja sulit. Butuh orang lain yanb terus menerus mengingatkan. Butuh lingkungan yang sanggup memberikan contoh yang baik. Terakhir, negara pun wajib memberikan wewenangnya buat melindungi perempuan. Andaikan contoh ini dapat diwujudkan, insya Sang Pencipta apa yang dialami oleh para perempuan dalam speelfilm ini bakal mampu diminimalisir.


Overall, aku suka speelfilm ini. Mungkin pula akibat topik yang diangkat related dengan kehidupan sehari-hari seperti seseorang orang tua. Cita rasanya itu, maju kena, mundur pula kena nyinyiran orang. Wkwkwk..

Nah, kini soal penilaian. Dari 1 hingga dengan 5, aku mau kasih 4,5 buat speelfilm ini. Jalan ceritanya oke, acting para pemainnya oke, semuanya itu ngena sekali, hanyanada sedikit sekali bagian yang memang mengganjal dalam pikiran aku.


Kalian telah nonton speelfilm ini belum? Kasih komentar kalian mengenai speelfilm ini pula ya.



Posting Komentar untuk "[Review Film] Kim Ji-Young: Born 1982"